'Clash of the Titans': The Lord of the Ring wannabe...? What a big failure...

Written on 11:06 AM by Harits Anwar

Baru saja nonton 'Clash of the Titans', dan ternyata filmnya sangat membosankan dan mengecewakan. . :(

Dilihat dari trailernya memang film ini kelihatannya cukup bagus, apalagi ditunjang Special Effect khas Hollywood dan aktor Sam Worrington (dalam trailerya juga disebutkan "from the Avatar's Sam Worrington.. .).. Dan ternyata setelah aku tonton di bioskop film jauh dari apa yg digembar-gemborkan. . Dilihat dari antusiasme masyarakat untuk nonton film ini (terbukti dari seat bioskop yg hampir full, bahkan pada tengah malam), film ini boleh dibilang overrated, hanya mengandalkan special effect yg canggih saja..


Film yg bercerita tentang pertengkaran dewa2 mitologi Yunani kuno seperti Zeus, Hades, dll terkesan menjadi The Lord of the Ring wannabe, karena sinematografinya, scoring, efek, dan bahkan cara narasinya sangat mengingatkan dengan The Lord of the Ring, cerita perjalanan menuju dunia 'underworld' juga mngingatkan adegan Frodo & Sam di The lord of the Ring.. dan tidak sampai di situ, keberadaan mahluk monster Kraken menyerupai kraken di film Pirates of Carribean.. Kalau dilihat dari sekilas film ini seperti gabungan TLOTR, Pirates of Carribean, dan Troy..
Overall, nyaris tidak ada yg original dari film ini..!!


IMHO, this movie feels soo 2003..! lol...


Seandainya saja film ini dibuat 7 tahun yg lalu dimana The Lord of The Ring belum dibuat mungkin saya akan menyukai film ini, namun setelah adanya TLOTR, Pirates, Troy, Avatar, Transformer, dll... Nyaris tidak ada yg unik yg ditawarkan dari film ini, semuanya terkesan 'Deja Vu' dan membosankan. .. Sama sekali tidak layak ditonton..

Verdict:
Story: 4/10
Actor: 4/10
Sinematografi: 7/10
Visual Effect: 8/10
Overall: 5/10

Film Twilight: Mengecewakan!

Written on 12:34 PM by Harits Anwar

Oke mungkin memang hal yang wajar apabila film yang diangkat dari novel tidak sebagus novelnya, mungkin karena keterbatasan waktu durasi film yang rata-rata 'hanya' 2 jam, atau karena biasanya imajinasi sang produser tidak sama dengan imanjinasi pembaca novelnya. Tapi jika novel yang tergolong masterpiece difilmkan dengan sangat buruk, bahkan melenceng jauh dari film-nya, itu sudah keterlaluan. Saya sudah menonton banyak film yang diangkat dari novel seperti Harry Potter, The Lord of the Ring, The Golden Compass, Da Vinci Code, dll. Mungkin diantara film-film tersebut hanya 'The Lord of the Ring' yang benar-benar memuaskan pembaca nolenya, penggambaran tokoh, cerita, dan adegan din film ini sangat pas, bahakan bisa dibilang sempurna. Berbeda dengan film Harry Potter (terutama film Harpot yang ke 4 dan 5), banyak cerita2 yang disingkat dan beberapa adegan bahkan dirubah. Mungkin bagi orang yang tidak memebaca bukunya tidak masalah, karena mereka tidak tau cerita di novelnya sehingga expetasinya tidak setinggi orang yang sudah membaca. Bagi saya yang sudah membaca novel Harry Potter, saya sangat kecewa dengan film itu. Bahkan saya merasa film Harry Potter merupakan film yang paling mengecewakan bila dibandingkan dengan bukunya. Tapi tunggu dulu.. ;) itu anggapan saya sebelum menonton Twilight!

Jika menurut kamu film Harry Potter mengecewakan, itu belum sebanding dengan Twilight, karena sejujurnya film Harry Potter masih jauh lebih bagus daripada Twilight.

Film yang diangkat dari novel best seller karya Stephanie Mayer dengan judul sama ini menceritakan kisah Bella yang pindah ke kota Forks tempat ayahnya tinggal. Kota yang merupakan kota hujan di AS. Di tempat baru ini dia menemukan banyak teman baru disana. Dia pun berkenalan dengan Seorang Cowok tampan(?) bernama Edward Cullen. Dan ternyata Edward adalah seorang Vampir. Tidak seperti Vampir klasik pada umumnya yang seram, bergigi taring, takut sinar matahari, dan jahat, film ini menggambarkan sosok Vampir 2.0 (ini istilah saya :D) yang tampan (walaupun menurut saya tidak tampan), mempesona, baik, dan sangat berbeda dengan karakteristik vampir 1.0, well, walaupun sama-sama meminum darah. Edward merupakan vampir 'vegeterian' yang hanya meminum darah hewan yang menunjukan bahwa dia adalah vampir 2.0 yang baik dan beradab :D. Lalu kemudian Bella dan Edward saling jatuh cinta, seperti film romantis lainnya, selalu ada masalah diantara kedua kekasih tersebut (sudah bisa ditebak :p). Dikisahkan Bella yang cinta mati kepada Edward tidak peduli apakah dia vampir, dan apapun bahayanya menjalin hubungan dengan vampir, bahkan Bella bersedia mati demi orang yang dicintainya (Romeo&Juliet wannabe :D). 

Well, secara keseluruhan film ini lebih menonjolkan sisi romantis tanpa karakteristik aktor yang kuat, sangat tidak sesuai dengan bukunya, dan diperparah dengan pemainnya yang cenderung kaku membuat film ini tidak layak ditonton. Ceritanya pun banyak dirubah, dan ada beberapa tambahan action yang kurang menggigit. Walaupun patut diakui film ini mempunyai sinematografi yang bagus (nilai plus untuk itu), tapi selebihnya? sangat membosankan dan nyaris tidak ada yang menarik dari film ini. Benar-benar hanya membuang waktu dan uang menonton film ini. Kalau anda sudah membaca novelnya dan bukan tipe orang yang suka dikecewakan seperti saya, sebaiknya jangan menonton film ini. Tapi jika kamu datang ke bioskop hanya untuk menumpang tidur ya silakan tonton. Film ini benar-benar membosankan dan menontonnya sangat membuat ngantuk. 
What a disaster movie...

Bond 2.0

Written on 8:30 AM by Harits Anwar

DI dunia James Bond versi Daniel Craig, persoalannya bukan lagi apakah segelas martini harus dikocok atau diaduk. Setelah melalui berbagai tafsir Bond yang tampan dan kenes, Craig memberikan sebuah definisi baru tentang seorang agen intelijen yang dingin dan seksi. Yang menantang sekaligus membuat napas berhenti. Segelas martini dan tuksedo itu tak penting lagi. Bond versi Craig boleh tampil sekumel mungkin, dan dia akan tetap menjadi Bond abad ke-21 yang lezat.

Di panggung Daniel Craig, kita tak perlu ribut-ribut soal plot. Yang penting sekarang adalah bagaimana sutradara Marc Foster menyajikan Bond pada abad yang sudah memiliki jagoan baru lain seperti Bourne, atau bahkan serial 24 dan Alias yang memanfaatkan teknologi sinematik yang lebih baru, lebih canggih, dan lebih keren daripada film-film James Bond di masa lalu. Bagaimana dunia yang kini lebih memfokuskan diri pada terorisme dan ancaman senjata kimia bisa diadaptasikan pada kisah Ian Fleming yang di masa lalu berkutat dengan masalah komunisme.

Dalam film Quantum of Solace, Bond menggotong dendamnya ke mana-mana. Dari pengkhianatan wanita yang dicintainya, Vesper Lynd (dalam film Casino Royale), Bond berniat mencari kebenaran di balik tingkah Vesper yang mencuri uang hasil kasino yang dimenangi Bond.

Dendam dan keinginan melindungi M (Judi Dench)—bos agen intelijen terbesar di Inggris yang dingin, tegas tetapi toh protektif pada Bond seperti seorang ibu.

Kali ini, Bond menjelajah tanpa fasi-litas apa pun. Korban berjatuhan dan ternyata salah satunya adalah ”orang dalam”. M menahan segala fasilitas kartu kredit dan kemewahan. Bond berkelana seadanya, tak ada pernik teknologi, tak ada mobil terbang atau mobil yang menyodok laut. Kali ini dia mengejar, membunuh, menghajar tanpa bantuan pernik dari Q (kenapa dia hilang?); dia cuma bergumul dengan seorang perempuan, Strawberry Fields (lha, piye?) dan cukup elegan ”hanya” mencium si cantik Camille Montes (Olga Kurylenko) pada akhir film.

Syahdan, James Bond mencari biang kerok dari segala peristiwa hitam yang membuat wanita yang dicintainya mengkhianatinya dan tewas dalam Casino Royale. Untuk mendapatkan sang biang kerok, Bond harus mencari Dominic Greene (Mathieu Amalric), seorang pendiri sebuah organisasi kriminal berkedok pembela lingkungan bernama Quantum. Bond menyeberang ke Austria, Italia, dan Amerika Selatan. Dengan bantuan Rene Mathis (Giancarlo Giannini), Bond memburu Greene, yang sudah siap menjungkalkan Camille dari lantai atas sebuah gedung tua. Saat itu Greene tengah berupaya memanipulasi Jenderal Medrano dari Bolivia untuk menukar sebidang tanah—yang menjadi sumber utama suplai air—dengan janji bahwa dia akan mampu mengerahkan koneksinya untuk menjungkalkan rezim Bolivia saat itu.

Transaksi ini kemudian terganggu oleh kehadiran Bond dan Camille—yang punya dendam pribadi terhadap sang jenderal. Di tengah gempuran api yang menjilat hotel di tengah padang pasir itu, Bond berkelahi dengan Greene, sementara Camille menerjang sang jenderal yang gemar memerkosa.

Mungkin sutradara Marc Foster (sebelumnya lebih sering membuat film drama seperti Finding Neverland, Monster’s Ball, dan The Kite Runner) ingin menunjukkan sesuatu yang berbeda. Yang pertama dia lakukan adalah meruntuhkan seluruh karakteristik Bond. Minuman martini kegemaran Bond yang selalu disertai ucapan kepada bartender ”shaken, not stirred” sudah dirontokkan dalam Casino Royale dengan ucapan Bond yang ketus: ”memangnya aku peduli?”

Lantas sekarang kita melihat Bond, seperti juga jagoan lainnya seperti Bourne atau Jack Bauer yang mampu berkelahi dengan tangan kosong, tanpa bantuan pernak-pernik mewah dan kinclong buatan Q. Tanpa pernik, Bond jadi terasa aneh dan tidak istimewa; tapi mungkin dia jadi lebih jantan. Tambah lagi, cewek-cewek Bond tak lagi tampil sebagai aksesori. Camille Montes, yang sayangnya diperankan dengan buruk oleh Olga Kurylenko, memiliki sejarah hitam dengan Jenderal, dan mendampingi Bond sebagai pasangan penuh dendam. Sepanjang film, Olga hanya tampil dengan satu macam ekspresi: cemberut seperti gadis remaja ngambek. Benarkah dia dipilih di antara 7.000 peserta audisi? Seriously! Dia adalah satu dari sekian Bond girls yang tampil paling buruk sepanjang sejarah (setelah Grace Jones).

Sosok M kini lebih seperti seorang ibu yang khawatir terhadap tingkah laku Bond yang dianggap di luar akal sehat. Tetapi lihatlah adegan M memberikan instruksi melalui telepon, sembari membersihkan wajah dengan lotion, bak seorang pembunuh tengah membersihkan ”kutu-kutu” dengan sekali usap. Itu bukan gerak seorang ibu, melainkan seorang pembunuh yang dingin.

Mereka yang telanjur jatuh cinta pada ciri khas Bond ala Ian Fleming memang harus mengucapkan selamat tinggal. Bond sekarang milik Hollywood dan dunia, sehingga ia menjadi suatu karya pop ”klasik” yang bebas ditafsirkan oleh pemain dan sineasnya.

Kali ini Foster juga ingin memasukkan rasa ”seni” dalam Bond. Adegan intercut antara sebuah opera akbar Tosca di Danau Constance di Austria dan adegan kejar-mengejar dengan rombongan Dominic Greene berakhir dengan sebuah adegan slow motion tanpa suara di antara lontaran peluru ke seluruh penjuru itu: dahsyat! Memang ini tidak orisinal, karena film The Godfather 3 juga sudah melakukannya: art imitates life.

Sementara dua tahun lalu film Casino Royale (sutradara: Martin Campbell) berhasil mengguncang dunia, kini Quantum of Solace ternyata menjungkirbalikkan definisi Bond yang telanjur kita kenal. Lalu siapakah gerangan agen berwajah ganteng, seksi, dingin, yang tak peduli dengan minumannya (apakah dikocok atau diaduk) dan tak lagi gemar meniduri banyak perempuan? Masihkah dia bernama ”Bond. James Bond”?


Sumber: Tempo

Laskar Pelangi

Written on 8:08 AM by Harits Anwar


Sejujurnya saya bukan orang yang suka nonton film Indonesia (karena rata-rata kualitasnya buruk), bahkan ketika mendengar film Laskar Pelangi telah dibuat saya pun tidak se-antusias orang lain yang ingin menonton film itu, dalam pikiran saya pasti filmnya tidak sebagus bukunya (bahkan membaca bukunya pun saya belum :p).
Beruntung(?) beberapa hari yang lalu ketika saya dan teman-teman saya mengadakan buka puasa bersama saya diajak (lebih tepatnya dipaksa :p) untuk menonton film karya Riri Riza tersebut.

Menurut saya film Laskar Pelangi yang diangkat dari novel laris karya Andrea Hirata berbeda dengan kebanyakan film Indonesia. Tema yang diangkat cukup unik (atau mungkin berani), yaitu tema pendidikan, sangat kontras dengan rata-rata film Indonesia yang bertemakan hantu, cinta, atau komedia yang menurut hemat saya sangat tidak bervariatif, dan biasanya sangat buruk kualitasnya, walau ada juga yang lumayan (lumayan bukan bagus loh!). Saya salut dengan film ini karena memberikan warna yang berbeda bagi industri film nasional.

Film ini mengisahkan kehidupan masa kecil 10 orang anak dari belitong yang miskin sehingga hanya mampu bersekolah di sekolah dasar Islam gratis di wilayah itu. Di sekolah Islam Muhammadiyah inilah kisah 10 anak sang "Laskar Pelangi" menjalani kehidupan di masa kecil mereka. Ada banyak kejadian yang lucu dan menggelikan melihat seorang anak kecil bercanda, memperlihatkan kepolosan dan keluguan mereka ditengah kondisi kemiskinan yang tidak menyurutkan semangat belajar mereka.

Well, not bad, how about the movie?
Dari sisi teknis, film ini digarap dengan rapi. Sinematografinya cukup bagus, dengan camera-movement yang baik. Setting tempatnya pun benar-benar real, dapat menggambarkan kondisi sekolah SD Muhammadiyah dengan baik. Saya suka scoring film ini, sangat bagus, salut untuk para composer yang menggarap backround-music fim ini. Oya, saya suka soundtrack Laskar pelangi yang dibawakan oleh Nidji.

But,
Sayang itu semua tidak sebanding dengan cerita yang disuguhi oleh film dengan durasi 125 menit ini. Ada banyak cerita yang 'mengambang' tidak jelas. Aktor-aktor yang memerankan film ini pun dirasa kurang pas, dengan akting yang biasa saja, namun cukup menggambarkan kepolosan para anggota laskar pelangi yang miskin dari daerah belitong ini. Beberapa adegan juga terlihat 'norak' seperti adegan ketika anak-anak menyanyikan lagu 'bunga seroja' (entah mengapa terasa seperti menyaksikan film india :p). Alurnya juga sangat cepat, banyak adengan yang loncat ke adengan lain tanpa penjelasan sehingga menimbulkan pertanyaan:"ko langsung kesini?". Bahkan beberapa adegan terasa terlalu didramatisir, seperti adegan ketika Ical jatuh cinta ke A Ling ketika membeli kapur (masa sih ada orang bisa jatuh cinta hanya karena meliat tangan?).

So, lets go to the result,
Overall film ini cukup unik, dengan tema yang berbeda kita diajak melihat realita sosial yang (mungkin) belum terekspos. Kisah perjuangan 10 anak kampung miskin dari belitong untuk mendapatkan pendidikan dengan segala keterbatasan mereka membuat kita malu, selama ini kita mungkin tidak menyadari bertapa beruntungnya kita. Ada kata-kata bijak yang bagus di film ini:"Hiduplah dengan memberi sebanyak-banyaknya dan bukan menerima sebanyak-banyaknya!". Sayang tema yang unik ini tidak dibarengi dengan cerita yang "wah", walaupun film ini cukup membuat kita terharu melihat perjuangan Laskar Pelangi, dan tertawa melihat keluguan mereka.
Terlepas dari apapun kekurangannya, film ini jauh lebih bagus dan layak untuk ditonton daripada film produksi lokal lain yang kurang mendidik. (atau tidak sama sekali). Ada banyak nilai-nilai moral di film ini, tidak seperti sinetron yang cenderung merusak generasi muda bangsa.
Maju film Indonesia! Come' on! :D