Written on 8:08 AM by Harits Anwar

Sejujurnya saya bukan orang yang suka nonton film Indonesia (karena rata-rata kualitasnya buruk), bahkan ketika mendengar film Laskar Pelangi telah dibuat saya pun tidak se-antusias orang lain yang ingin menonton film itu, dalam pikiran saya pasti filmnya tidak sebagus bukunya (bahkan membaca bukunya pun saya belum :p).
Beruntung(?) beberapa hari yang lalu ketika saya dan teman-teman saya mengadakan buka puasa bersama saya diajak (lebih tepatnya dipaksa :p) untuk menonton film karya Riri Riza tersebut.
Menurut saya film Laskar Pelangi yang diangkat dari novel laris karya Andrea Hirata berbeda dengan kebanyakan film Indonesia. Tema yang diangkat cukup unik (atau mungkin berani), yaitu tema pendidikan, sangat kontras dengan rata-rata film Indonesia yang bertemakan hantu, cinta, atau komedia yang menurut hemat saya sangat tidak bervariatif, dan biasanya sangat buruk kualitasnya, walau ada juga yang lumayan (lumayan bukan bagus loh!). Saya salut dengan film ini karena memberikan warna yang berbeda bagi industri film nasional.
Film ini mengisahkan kehidupan masa kecil 10 orang anak dari belitong yang miskin sehingga hanya mampu bersekolah di sekolah dasar Islam gratis di wilayah itu. Di sekolah Islam Muhammadiyah inilah kisah 10 anak sang "Laskar Pelangi" menjalani kehidupan di masa kecil mereka. Ada banyak kejadian yang lucu dan menggelikan melihat seorang anak kecil bercanda, memperlihatkan kepolosan dan keluguan mereka ditengah kondisi kemiskinan yang tidak menyurutkan semangat belajar mereka.
Well, not bad, how about the movie?
Dari sisi teknis, film ini digarap dengan rapi. Sinematografinya cukup bagus, dengan camera-movement yang baik. Setting tempatnya pun benar-benar real, dapat menggambarkan kondisi sekolah SD Muhammadiyah dengan baik. Saya suka scoring film ini, sangat bagus, salut untuk para composer yang menggarap backround-music fim ini. Oya, saya suka soundtrack Laskar pelangi yang dibawakan oleh Nidji.
But,
Sayang itu semua tidak sebanding dengan cerita yang disuguhi oleh film dengan durasi 125 menit ini. Ada banyak cerita yang 'mengambang' tidak jelas. Aktor-aktor yang memerankan film ini pun dirasa kurang pas, dengan akting yang biasa saja, namun cukup menggambarkan kepolosan para anggota laskar pelangi yang miskin dari daerah belitong ini. Beberapa adegan juga terlihat 'norak' seperti adegan ketika anak-anak menyanyikan lagu 'bunga seroja' (entah mengapa terasa seperti menyaksikan film india :p). Alurnya juga sangat cepat, banyak adengan yang loncat ke adengan lain tanpa penjelasan sehingga menimbulkan pertanyaan:"ko langsung kesini?". Bahkan beberapa adegan terasa terlalu didramatisir, seperti adegan ketika Ical jatuh cinta ke A Ling ketika membeli kapur (masa sih ada orang bisa jatuh cinta hanya karena meliat tangan?).
So, lets go to the result,
Overall film ini cukup unik, dengan tema yang berbeda kita diajak melihat realita sosial yang (mungkin) belum terekspos. Kisah perjuangan 10 anak kampung miskin dari belitong untuk mendapatkan pendidikan dengan segala keterbatasan mereka membuat kita malu, selama ini kita mungkin tidak menyadari bertapa beruntungnya kita. Ada kata-kata bijak yang bagus di film ini:"Hiduplah dengan memberi sebanyak-banyaknya dan bukan menerima sebanyak-banyaknya!". Sayang tema yang unik ini tidak dibarengi dengan cerita yang "wah", walaupun film ini cukup membuat kita terharu melihat perjuangan Laskar Pelangi, dan tertawa melihat keluguan mereka.
Terlepas dari apapun kekurangannya, film ini jauh lebih bagus dan layak untuk ditonton daripada film produksi lokal lain yang kurang mendidik. (atau tidak sama sekali). Ada banyak nilai-nilai moral di film ini, tidak seperti sinetron yang cenderung merusak generasi muda bangsa.
Maju film Indonesia! Come' on! :D
Posted in
Movie,
Review
|
Written on 1:00 PM by Harits Anwar

Apa alat bantu presentasi yang paling populer? Tentu jawabannya adalah inFocus, alat yang paling berguna untuk menampilkan slide show... setidaknya sampai saat ini. Untuk beberapa tahun kedepan? mungkin inFocus tidak akan digunakan lagi. Why? Karena baru-baru ini Microsoft memperkenalkan TouchWall, sebuah komputer touchscreen yang berbasiskan fitur multi-touch seperti namanya.
Bos Microsoft, Bill Gates di rapat tahunan Microsoft, yang berjudul "The Next Wave of Business Productivity and the Challenge of Continual Innovation" juga menunjukkan hal ini. Dalam sesi ini, ia memamerkan prototipe Microsoft yang terbaru, dinamakan TouchWall. TouchWall adalah salah satu dari berbagai proyek multitouch Microsoft berukuran 4 x 6 kaki (sekitar 1,2 x ,8 meter) yang pada intinya adalah sebuah versi lain dari Microsoft Surface
"Setiap kali saya mendekat dan menyentuhnya, perangkat lunak ini akan mendeteksinya," tutur Gates. Apapun yang dilakukannya, TouchWall tidak bereaksi. "Secara teori," tambah Gates yang mengundang tawa penonton. TouchWall baru bekerja beberapa detik kemudian, dan selain bug kecil di awal, beroperasi secara mulus untuk susa presentasi tersebut. Aplikasi di belakang TouchWall dinamakan Plex yang dikembangkan oleh para anggota
Office Labs.
Gates memperkirakan TouchWall akan digunakan pada beberapa tahun kedepan oleh perusahaan korporat, walau tidak menutup kemungkinan dapat juga digunakan di rumah (sebagai pengganti televisi mungkin :p). Namun sayangnya Gates tidak memberikan detil tanggal resmi kapan produk itu bisa digunakan secara komersil.
Posted in
Komputer,
Review
|
Written on 5:24 PM by Harits Anwar

Tampaknya perang web browser akan semakin panas saja, baru beberapa bulan yang lalu firefox memperkenalkan firefox 3 dan opera dengan opera 9.5. Sekarang Google pun ikut membuat browser yang bernama Google Chrome.
Saya pertama kali tahu browser ini dari situs google, disitu terdapat link untuk mendownload Google Chrome. Lalu karena penasaran, saya coba install saja. Dan ternyata file-nya kecil, hanya 474kb, saya sempat heran ko bisa ada browser yang file installernya hanya 474kb?
Ok lalu saya install Google Chrome tersebut, dan ternyata file installer tersebut masih harus men-download lagi dari internet, alias tidak bisa langsung install, memang agak kurang praktis dan merepotkan :p.
Saya mendownload dari situs google.co.id, yang tentu saja berbahasa Indonesia, bahkan default bahasa browsernya pun menggunakan bahasa Indonesia! Lucu juga melihat kata-kata bahasa indonesia pada browser, banyak keanehan (kalau tidak mau dibilang hancur :p) didalamnya. Misalnya pada pilihan options Kata 'Under the Hood' diterjemahkan menjadi 'Dibalik Terpal', lalu 'Minor Tweaks' menjadi 'Otak Atik Kecil, dll. Saya sampai ketawa geli sendiri melihat bahasa Inggris (yang memang tidak ada pandanannya dalam bahasa Indonesia) 'dipaksakan' untuk diterjemahkan sehingga menjadi lucu.
Melihat interface-nya, Google Chrome terkesan sangat Minimalis (seperti situs google yang minimalis), tidak banyak tombol ataupun menu toolbar layaknya browser lain (Mungkin merepotkan bagi newbie, tapi lama kelamaan akan terbiasa.) Hmm.. mungkin memang itu filosofi Google: Simple and Fast! Tersedia juga fitur most visited tab yang menyerupai speed-dial Opera. Menurut saya keseluruhan tampilan browser ini lebih mirip opera.
Ok saya coba browsing memakai browser baru ini, saya rasa, kelebihan browser ini yang paling terasa adalah kecepatannya, me-load web dengan banyak javascript dan format ajax (seperti YahooMail) bisa dilakukan dengan lancar. Kekurangan browser ini terletak pada tidak tersedianya skin/theme tambahan dan fitur pengelolaan tabs dan history yang menurut saya masih kalah jauh dibanding Firefox dan Opera (Saya agak kesulitan mencari history web yang pernah saya buka).
Ketika saya buka Task Manager, ternyata Google Chrome hanya memakai sedikit resource memori, tercatat browser ini hanya memakai 42Mb dengan 8 tabs terbuka, tidak seperti firefox atau opera yang boros resource.
Well, kesimpulannya mungkin sekarang saya akan memakai Opera dan Google Chrome sebagai browser default saya (kecuali jika pengelolaan history-nya lebih baik, maka saya akan tinggalkan Opera :p ), and... say goodbye to firefox.
Posted in
Internet,
Komputer,
Review
|
Written on 10:15 AM by Harits Anwar

Taiwan,- Bagaimana gedung setinggi setengah kilometer tidak patah atau tumbang ketika berayun-ayun? Berikut catatan CEO Jawa Pos Group DAHLAN ISKAN dari kunjungan ke gedung tertinggi di dunia, Taipei 101.
Laporan Dahlan Iskan, Taipe
DI sela-sela kunjungan saya ke Taipei (Taiwan) yang kurang dari 24 jam pekan lalu, saya sempatkan naik gedung tertinggi di dunia saat ini: Gedung 101. Tentu sudah agak malam, karena harus dinner dulu dengan pengusaha di Taipei. Dari mana-mana gedung ini terlihat karena di Taipei memang tidak terlalu banyak pencakar langit.
Taiwan memang terkenal sebagai wilayah yang perbedaan kaya-miskinnya tidak terlalu mencolok. Di satu sisi tidak banyak gedung hebat, di lain sisi tidak ada kaki lima atau toko-toko yang jelek. Saya kira Taiwanlah yang golongan kelas menengahnya sangat dominan.
Gedung itu dinamakan 101 karena terdiri atas 101 lantai. Tinggi gedung ini 509 meter (setengah kilometer lebih) dari permukaan tanah. Sebenarnya masih harus ditambah 30 meter lagi kalau lantai-lantai bawah tanahnya dihitung.
Memang, Gedung 101 tidak akan bertahan lama sebagai yang tertinggi di dunia. Dalam lima tahun ke depan sudah akan dikalahkan oleh Shanghai. Gedung di Shanghai itu sempat tertunda pembangunannya oleh krisis moneter Asia, namun kini sudah dimulai. Yang di Shanghai pun segera dikalahkan pula oleh gedung lain di Dubai yang dirancang setinggi 800 meter.
Meski segera kalah, Gedung 101 tetap memiliki keunikan tersendiri. Arsitekturnya sangat menarik, seperti pohon bambu, yang sangat melambangkan Asia Timur. Ini berbeda dengan gedung kembar WTC yang dihancurkan teroris di New York itu, yang arsitekturnya hanya seperti kotak yang didirikan. Sebagian besar arsitek New York tidak menyukai bentuk gedung WTC saat itu, karena dianggap hanya merusak tata gedung tinggi di sana.
Gedung 101 juga berbeda dengan SEARS Tower di Chicago yang kesannya ”hanya” modern, atau gedung kembar Kuala Lumpur yang mirip bentuk jagung kupas. Gedung 101 benar-benar sangat Asia Timur. Memang, ketika membangun Gedung 101 perdebatan sangat panjang, karena Taipei punya dua kelemahan mendasar sekaligus: gempa dan taipun. Bentuk bambu mengesankan bahwa gedung itu akan lentur terhadap gempa maupun angin topan.
Letak kelenturannya tentu bukan pada bentuk bambunya itu, melainkan pada sebuah benda yang diletakkan di lantai 89. Benda ini beratnya (jangan kaget): 800 ton! Bentuknya bulat berjenjang-jenjang seperti rumah tawon yang bulat. Begitu beratnya sehingga bola baja ini harus digantung dan disangga sekaligus. Alat penggantungnya adalah kabel-kabel baja seperti untuk jembatan gantung. Sedang penyangganya adalah hidrolik di empat sudutnya. Penyangga hidrolik itulah yang membuat lentur.
Saat terjadi gempa atau saat angin topan mengganas, bola itu sebenarnya seperti bandul (pendulum): bergerak ke arah berlawanan dari gempa atau angin, yang fleksibilitasnya ditopang oleh hidrolik tersebut. Dengan demikian, meski puncak gedung berayun sampai lebih 1,5 meter, gedung tidak akan patah atau roboh!
Karena, bola baja yang garis tengahnya 5,5 meter itu memang sangat besar, dan harus digantung, tiga lantai sendiri harus dipakai untuk penyeimbang itu. Semua pengunjung bisa melihatnya, termasuk kalau bola itu sedang bergerak yang berarti sebenarnya puncak gedung sedang berayun.
Ruang di sekeliling ”atraksi” itu dipakai untuk observatorium, tempat pengunjung melihat ibu kota Taiwan dari semua arah. Bola penyeimbang seperti itu, yang dulu-dulu seperti menjadi ”rahasia” dan selalu disembunyikan di ruang tertutup, di Gedung 101 malah dijadikan bagian dari atraksi: ngeri-ngeri-menyenangkan!
Seperti juga ketika naik ke gedung kembar WTC di New York setahun sebelum hancur, naik ke Gedung 101 juga harus membayar. Sekitar Rp 100.000 per orang. Lift-nya tidak sebesar WTC New York, tapi kecepatannya dua kali lipat. Inilah lift tercepat di dunia saat ini: 1.000 meter per menit. Toshiba memenangkan tender lift supercepat ini. Harga satu lift-nya sekitar Rp 20 miliar.
Berada di lift itu kita bisa melihat displai di layar mengenai sudah berapa detik, sedang di ketinggian berapa dan di lantai mana. Meski begitu cepat, ketika berangkat tidak terasa ada kejut sama sekali. Demikian juga ketika akan berhenti di puncak gedung juga tidak ada rasa sama sekali. Lift ini memang dilengkapi antikejut dan anti-kebablasan. Hanya telinga yang pengang, sehingga saya harus beberapa kali seolah-olah menelan ludah untuk mengembalikan pendengaran menjadi normal.
Saya sudah dua kali ke gedung ini, tapi baru pekan lalu naik ke puncak. Saya suka ke sini karena di lantai tiganya ada restoran Jepang all-you-can eat yang sangat komplet dan enak. Tapi, saya tidak pernah belanja di malnya karena tidak bisa menggunakan uang dari plastik. Semua barang bermerek harus dibayar dengan uang Taiwan beneran.
Di sekitar gedung ini memang belum tertata indah. Masih ada proyek pembangunan stasiun kereta bawah tanah. Gedung-gedung sekitarnya juga masih banyak yang lama sehingga 101 seperti sebatang bambu yang tumbuh tinggi sendirian. Tapi, saya melihat bahwa pelan-pelan, pusat pusat kota Taipei akan bergeser ke sini.
Posted in
Chart,
Fun Fact,
Review
|