Gedung 101

Written on 10:15 AM by Harits Anwar


Taiwan,- Bagaimana gedung setinggi setengah kilometer tidak patah atau tumbang ketika berayun-ayun? Berikut catatan CEO Jawa Pos Group DAHLAN ISKAN dari kunjungan ke gedung tertinggi di dunia, Taipei 101.

Laporan Dahlan Iskan, Taipe

DI sela-sela kunjungan saya ke Taipei (Taiwan) yang kurang dari 24 jam pekan lalu, saya sempatkan naik gedung tertinggi di dunia saat ini: Gedung 101. Tentu sudah agak malam, karena harus dinner dulu dengan pengusaha di Taipei. Dari mana-mana gedung ini terlihat karena di Taipei memang tidak terlalu banyak pencakar langit.

Taiwan memang terkenal sebagai wilayah yang perbedaan kaya-miskinnya tidak terlalu mencolok. Di satu sisi tidak banyak gedung hebat, di lain sisi tidak ada kaki lima atau toko-toko yang jelek. Saya kira Taiwanlah yang golongan kelas menengahnya sangat dominan.

Gedung itu dinamakan 101 karena terdiri atas 101 lantai. Tinggi gedung ini 509 meter (setengah kilometer lebih) dari permukaan tanah. Sebenarnya masih harus ditambah 30 meter lagi kalau lantai-lantai bawah tanahnya dihitung.

Memang, Gedung 101 tidak akan bertahan lama sebagai yang tertinggi di dunia. Dalam lima tahun ke depan sudah akan dikalahkan oleh Shanghai. Gedung di Shanghai itu sempat tertunda pembangunannya oleh krisis moneter Asia, namun kini sudah dimulai. Yang di Shanghai pun segera dikalahkan pula oleh gedung lain di Dubai yang dirancang setinggi 800 meter.

Meski segera kalah, Gedung 101 tetap memiliki keunikan tersendiri. Arsitekturnya sangat menarik, seperti pohon bambu, yang sangat melambangkan Asia Timur. Ini berbeda dengan gedung kembar WTC yang dihancurkan teroris di New York itu, yang arsitekturnya hanya seperti kotak yang didirikan. Sebagian besar arsitek New York tidak menyukai bentuk gedung WTC saat itu, karena dianggap hanya merusak tata gedung tinggi di sana.

Gedung 101 juga berbeda dengan SEARS Tower di Chicago yang kesannya ”hanya” modern, atau gedung kembar Kuala Lumpur yang mirip bentuk jagung kupas. Gedung 101 benar-benar sangat Asia Timur. Memang, ketika membangun Gedung 101 perdebatan sangat panjang, karena Taipei punya dua kelemahan mendasar sekaligus: gempa dan taipun. Bentuk bambu mengesankan bahwa gedung itu akan lentur terhadap gempa maupun angin topan.

Letak kelenturannya tentu bukan pada bentuk bambunya itu, melainkan pada sebuah benda yang diletakkan di lantai 89. Benda ini beratnya (jangan kaget): 800 ton! Bentuknya bulat berjenjang-jenjang seperti rumah tawon yang bulat. Begitu beratnya sehingga bola baja ini harus digantung dan disangga sekaligus. Alat penggantungnya adalah kabel-kabel baja seperti untuk jembatan gantung. Sedang penyangganya adalah hidrolik di empat sudutnya. Penyangga hidrolik itulah yang membuat lentur.

Saat terjadi gempa atau saat angin topan mengganas, bola itu sebenarnya seperti bandul (pendulum): bergerak ke arah berlawanan dari gempa atau angin, yang fleksibilitasnya ditopang oleh hidrolik tersebut. Dengan demikian, meski puncak gedung berayun sampai lebih 1,5 meter, gedung tidak akan patah atau roboh!

Karena, bola baja yang garis tengahnya 5,5 meter itu memang sangat besar, dan harus digantung, tiga lantai sendiri harus dipakai untuk penyeimbang itu. Semua pengunjung bisa melihatnya, termasuk kalau bola itu sedang bergerak yang berarti sebenarnya puncak gedung sedang berayun.

Ruang di sekeliling ”atraksi” itu dipakai untuk observatorium, tempat pengunjung melihat ibu kota Taiwan dari semua arah. Bola penyeimbang seperti itu, yang dulu-dulu seperti menjadi ”rahasia” dan selalu disembunyikan di ruang tertutup, di Gedung 101 malah dijadikan bagian dari atraksi: ngeri-ngeri-menyenangkan!

Seperti juga ketika naik ke gedung kembar WTC di New York setahun sebelum hancur, naik ke Gedung 101 juga harus membayar. Sekitar Rp 100.000 per orang. Lift-nya tidak sebesar WTC New York, tapi kecepatannya dua kali lipat. Inilah lift tercepat di dunia saat ini: 1.000 meter per menit. Toshiba memenangkan tender lift supercepat ini. Harga satu lift-nya sekitar Rp 20 miliar.

Berada di lift itu kita bisa melihat displai di layar mengenai sudah berapa detik, sedang di ketinggian berapa dan di lantai mana. Meski begitu cepat, ketika berangkat tidak terasa ada kejut sama sekali. Demikian juga ketika akan berhenti di puncak gedung juga tidak ada rasa sama sekali. Lift ini memang dilengkapi antikejut dan anti-kebablasan. Hanya telinga yang pengang, sehingga saya harus beberapa kali seolah-olah menelan ludah untuk mengembalikan pendengaran menjadi normal.

Saya sudah dua kali ke gedung ini, tapi baru pekan lalu naik ke puncak. Saya suka ke sini karena di lantai tiganya ada restoran Jepang all-you-can eat yang sangat komplet dan enak. Tapi, saya tidak pernah belanja di malnya karena tidak bisa menggunakan uang dari plastik. Semua barang bermerek harus dibayar dengan uang Taiwan beneran.

Di sekitar gedung ini memang belum tertata indah. Masih ada proyek pembangunan stasiun kereta bawah tanah. Gedung-gedung sekitarnya juga masih banyak yang lama sehingga 101 seperti sebatang bambu yang tumbuh tinggi sendirian. Tapi, saya melihat bahwa pelan-pelan, pusat pusat kota Taipei akan bergeser ke sini.

If you enjoyed this post Subscribe to our feed

No Comment

Post a Comment