Written on 8:30 AM by Harits Anwar

DI dunia James Bond versi Daniel Craig, persoalannya bukan lagi apakah segelas martini harus dikocok atau diaduk. Setelah melalui berbagai tafsir Bond yang tampan dan kenes, Craig memberikan sebuah definisi baru tentang seorang agen intelijen yang dingin dan seksi. Yang menantang sekaligus membuat napas berhenti. Segelas martini dan tuksedo itu tak penting lagi. Bond versi Craig boleh tampil sekumel mungkin, dan dia akan tetap menjadi Bond abad ke-21 yang lezat.
Di panggung Daniel Craig, kita tak perlu ribut-ribut soal plot. Yang penting sekarang adalah bagaimana sutradara Marc Foster menyajikan Bond pada abad yang sudah memiliki jagoan baru lain seperti Bourne, atau bahkan serial 24 dan Alias yang memanfaatkan teknologi sinematik yang lebih baru, lebih canggih, dan lebih keren daripada film-film James Bond di masa lalu. Bagaimana dunia yang kini lebih memfokuskan diri pada terorisme dan ancaman senjata kimia bisa diadaptasikan pada kisah Ian Fleming yang di masa lalu berkutat dengan masalah komunisme.
Dalam film Quantum of Solace, Bond menggotong dendamnya ke mana-mana. Dari pengkhianatan wanita yang dicintainya, Vesper Lynd (dalam film Casino Royale), Bond berniat mencari kebenaran di balik tingkah Vesper yang mencuri uang hasil kasino yang dimenangi Bond.
Dendam dan keinginan melindungi M (Judi Dench)—bos agen intelijen terbesar di Inggris yang dingin, tegas tetapi toh protektif pada Bond seperti seorang ibu.
Kali ini, Bond menjelajah tanpa fasi-litas apa pun. Korban berjatuhan dan ternyata salah satunya adalah ”orang dalam”. M menahan segala fasilitas kartu kredit dan kemewahan. Bond berkelana seadanya, tak ada pernik teknologi, tak ada mobil terbang atau mobil yang menyodok laut. Kali ini dia mengejar, membunuh, menghajar tanpa bantuan pernik dari Q (kenapa dia hilang?); dia cuma bergumul dengan seorang perempuan, Strawberry Fields (lha, piye?) dan cukup elegan ”hanya” mencium si cantik Camille Montes (Olga Kurylenko) pada akhir film.
Syahdan, James Bond mencari biang kerok dari segala peristiwa hitam yang membuat wanita yang dicintainya mengkhianatinya dan tewas dalam Casino Royale. Untuk mendapatkan sang biang kerok, Bond harus mencari Dominic Greene (Mathieu Amalric), seorang pendiri sebuah organisasi kriminal berkedok pembela lingkungan bernama Quantum. Bond menyeberang ke Austria, Italia, dan Amerika Selatan. Dengan bantuan Rene Mathis (Giancarlo Giannini), Bond memburu Greene, yang sudah siap menjungkalkan Camille dari lantai atas sebuah gedung tua. Saat itu Greene tengah berupaya memanipulasi Jenderal Medrano dari Bolivia untuk menukar sebidang tanah—yang menjadi sumber utama suplai air—dengan janji bahwa dia akan mampu mengerahkan koneksinya untuk menjungkalkan rezim Bolivia saat itu.
Transaksi ini kemudian terganggu oleh kehadiran Bond dan Camille—yang punya dendam pribadi terhadap sang jenderal. Di tengah gempuran api yang menjilat hotel di tengah padang pasir itu, Bond berkelahi dengan Greene, sementara Camille menerjang sang jenderal yang gemar memerkosa.
Mungkin sutradara Marc Foster (sebelumnya lebih sering membuat film drama seperti Finding Neverland, Monster’s Ball, dan The Kite Runner) ingin menunjukkan sesuatu yang berbeda. Yang pertama dia lakukan adalah meruntuhkan seluruh karakteristik Bond. Minuman martini kegemaran Bond yang selalu disertai ucapan kepada bartender ”shaken, not stirred” sudah dirontokkan dalam Casino Royale dengan ucapan Bond yang ketus: ”memangnya aku peduli?”
Lantas sekarang kita melihat Bond, seperti juga jagoan lainnya seperti Bourne atau Jack Bauer yang mampu berkelahi dengan tangan kosong, tanpa bantuan pernak-pernik mewah dan kinclong buatan Q. Tanpa pernik, Bond jadi terasa aneh dan tidak istimewa; tapi mungkin dia jadi lebih jantan. Tambah lagi, cewek-cewek Bond tak lagi tampil sebagai aksesori. Camille Montes, yang sayangnya diperankan dengan buruk oleh Olga Kurylenko, memiliki sejarah hitam dengan Jenderal, dan mendampingi Bond sebagai pasangan penuh dendam. Sepanjang film, Olga hanya tampil dengan satu macam ekspresi: cemberut seperti gadis remaja ngambek. Benarkah dia dipilih di antara 7.000 peserta audisi? Seriously! Dia adalah satu dari sekian Bond girls yang tampil paling buruk sepanjang sejarah (setelah Grace Jones).
Sosok M kini lebih seperti seorang ibu yang khawatir terhadap tingkah laku Bond yang dianggap di luar akal sehat. Tetapi lihatlah adegan M memberikan instruksi melalui telepon, sembari membersihkan wajah dengan lotion, bak seorang pembunuh tengah membersihkan ”kutu-kutu” dengan sekali usap. Itu bukan gerak seorang ibu, melainkan seorang pembunuh yang dingin.
Mereka yang telanjur jatuh cinta pada ciri khas Bond ala Ian Fleming memang harus mengucapkan selamat tinggal. Bond sekarang milik Hollywood dan dunia, sehingga ia menjadi suatu karya pop ”klasik” yang bebas ditafsirkan oleh pemain dan sineasnya.
Kali ini Foster juga ingin memasukkan rasa ”seni” dalam Bond. Adegan intercut antara sebuah opera akbar Tosca di Danau Constance di Austria dan adegan kejar-mengejar dengan rombongan Dominic Greene berakhir dengan sebuah adegan slow motion tanpa suara di antara lontaran peluru ke seluruh penjuru itu: dahsyat! Memang ini tidak orisinal, karena film The Godfather 3 juga sudah melakukannya: art imitates life.
Sementara dua tahun lalu film Casino Royale (sutradara: Martin Campbell) berhasil mengguncang dunia, kini Quantum of Solace ternyata menjungkirbalikkan definisi Bond yang telanjur kita kenal. Lalu siapakah gerangan agen berwajah ganteng, seksi, dingin, yang tak peduli dengan minumannya (apakah dikocok atau diaduk) dan tak lagi gemar meniduri banyak perempuan? Masihkah dia bernama ”Bond. James Bond”?
Sumber: Tempo
Posted in
Movie,
Review
|
Written on 8:08 AM by Harits Anwar

Sejujurnya saya bukan orang yang suka nonton film Indonesia (karena rata-rata kualitasnya buruk), bahkan ketika mendengar film Laskar Pelangi telah dibuat saya pun tidak se-antusias orang lain yang ingin menonton film itu, dalam pikiran saya pasti filmnya tidak sebagus bukunya (bahkan membaca bukunya pun saya belum :p).
Beruntung(?) beberapa hari yang lalu ketika saya dan teman-teman saya mengadakan buka puasa bersama saya diajak (lebih tepatnya dipaksa :p) untuk menonton film karya Riri Riza tersebut.
Menurut saya film Laskar Pelangi yang diangkat dari novel laris karya Andrea Hirata berbeda dengan kebanyakan film Indonesia. Tema yang diangkat cukup unik (atau mungkin berani), yaitu tema pendidikan, sangat kontras dengan rata-rata film Indonesia yang bertemakan hantu, cinta, atau komedia yang menurut hemat saya sangat tidak bervariatif, dan biasanya sangat buruk kualitasnya, walau ada juga yang lumayan (lumayan bukan bagus loh!). Saya salut dengan film ini karena memberikan warna yang berbeda bagi industri film nasional.
Film ini mengisahkan kehidupan masa kecil 10 orang anak dari belitong yang miskin sehingga hanya mampu bersekolah di sekolah dasar Islam gratis di wilayah itu. Di sekolah Islam Muhammadiyah inilah kisah 10 anak sang "Laskar Pelangi" menjalani kehidupan di masa kecil mereka. Ada banyak kejadian yang lucu dan menggelikan melihat seorang anak kecil bercanda, memperlihatkan kepolosan dan keluguan mereka ditengah kondisi kemiskinan yang tidak menyurutkan semangat belajar mereka.
Well, not bad, how about the movie?
Dari sisi teknis, film ini digarap dengan rapi. Sinematografinya cukup bagus, dengan camera-movement yang baik. Setting tempatnya pun benar-benar real, dapat menggambarkan kondisi sekolah SD Muhammadiyah dengan baik. Saya suka scoring film ini, sangat bagus, salut untuk para composer yang menggarap backround-music fim ini. Oya, saya suka soundtrack Laskar pelangi yang dibawakan oleh Nidji.
But,
Sayang itu semua tidak sebanding dengan cerita yang disuguhi oleh film dengan durasi 125 menit ini. Ada banyak cerita yang 'mengambang' tidak jelas. Aktor-aktor yang memerankan film ini pun dirasa kurang pas, dengan akting yang biasa saja, namun cukup menggambarkan kepolosan para anggota laskar pelangi yang miskin dari daerah belitong ini. Beberapa adegan juga terlihat 'norak' seperti adegan ketika anak-anak menyanyikan lagu 'bunga seroja' (entah mengapa terasa seperti menyaksikan film india :p). Alurnya juga sangat cepat, banyak adengan yang loncat ke adengan lain tanpa penjelasan sehingga menimbulkan pertanyaan:"ko langsung kesini?". Bahkan beberapa adegan terasa terlalu didramatisir, seperti adegan ketika Ical jatuh cinta ke A Ling ketika membeli kapur (masa sih ada orang bisa jatuh cinta hanya karena meliat tangan?).
So, lets go to the result,
Overall film ini cukup unik, dengan tema yang berbeda kita diajak melihat realita sosial yang (mungkin) belum terekspos. Kisah perjuangan 10 anak kampung miskin dari belitong untuk mendapatkan pendidikan dengan segala keterbatasan mereka membuat kita malu, selama ini kita mungkin tidak menyadari bertapa beruntungnya kita. Ada kata-kata bijak yang bagus di film ini:"Hiduplah dengan memberi sebanyak-banyaknya dan bukan menerima sebanyak-banyaknya!". Sayang tema yang unik ini tidak dibarengi dengan cerita yang "wah", walaupun film ini cukup membuat kita terharu melihat perjuangan Laskar Pelangi, dan tertawa melihat keluguan mereka.
Terlepas dari apapun kekurangannya, film ini jauh lebih bagus dan layak untuk ditonton daripada film produksi lokal lain yang kurang mendidik. (atau tidak sama sekali). Ada banyak nilai-nilai moral di film ini, tidak seperti sinetron yang cenderung merusak generasi muda bangsa.
Maju film Indonesia! Come' on! :D
Posted in
Movie,
Review
|
Written on 1:00 PM by Harits Anwar

Apa alat bantu presentasi yang paling populer? Tentu jawabannya adalah inFocus, alat yang paling berguna untuk menampilkan slide show... setidaknya sampai saat ini. Untuk beberapa tahun kedepan? mungkin inFocus tidak akan digunakan lagi. Why? Karena baru-baru ini Microsoft memperkenalkan TouchWall, sebuah komputer touchscreen yang berbasiskan fitur multi-touch seperti namanya.
Bos Microsoft, Bill Gates di rapat tahunan Microsoft, yang berjudul "The Next Wave of Business Productivity and the Challenge of Continual Innovation" juga menunjukkan hal ini. Dalam sesi ini, ia memamerkan prototipe Microsoft yang terbaru, dinamakan TouchWall. TouchWall adalah salah satu dari berbagai proyek multitouch Microsoft berukuran 4 x 6 kaki (sekitar 1,2 x ,8 meter) yang pada intinya adalah sebuah versi lain dari Microsoft Surface
"Setiap kali saya mendekat dan menyentuhnya, perangkat lunak ini akan mendeteksinya," tutur Gates. Apapun yang dilakukannya, TouchWall tidak bereaksi. "Secara teori," tambah Gates yang mengundang tawa penonton. TouchWall baru bekerja beberapa detik kemudian, dan selain bug kecil di awal, beroperasi secara mulus untuk susa presentasi tersebut. Aplikasi di belakang TouchWall dinamakan Plex yang dikembangkan oleh para anggota
Office Labs.
Gates memperkirakan TouchWall akan digunakan pada beberapa tahun kedepan oleh perusahaan korporat, walau tidak menutup kemungkinan dapat juga digunakan di rumah (sebagai pengganti televisi mungkin :p). Namun sayangnya Gates tidak memberikan detil tanggal resmi kapan produk itu bisa digunakan secara komersil.
Posted in
Komputer,
Review
|
Written on 5:24 PM by Harits Anwar

Tampaknya perang web browser akan semakin panas saja, baru beberapa bulan yang lalu firefox memperkenalkan firefox 3 dan opera dengan opera 9.5. Sekarang Google pun ikut membuat browser yang bernama Google Chrome.
Saya pertama kali tahu browser ini dari situs google, disitu terdapat link untuk mendownload Google Chrome. Lalu karena penasaran, saya coba install saja. Dan ternyata file-nya kecil, hanya 474kb, saya sempat heran ko bisa ada browser yang file installernya hanya 474kb?
Ok lalu saya install Google Chrome tersebut, dan ternyata file installer tersebut masih harus men-download lagi dari internet, alias tidak bisa langsung install, memang agak kurang praktis dan merepotkan :p.
Saya mendownload dari situs google.co.id, yang tentu saja berbahasa Indonesia, bahkan default bahasa browsernya pun menggunakan bahasa Indonesia! Lucu juga melihat kata-kata bahasa indonesia pada browser, banyak keanehan (kalau tidak mau dibilang hancur :p) didalamnya. Misalnya pada pilihan options Kata 'Under the Hood' diterjemahkan menjadi 'Dibalik Terpal', lalu 'Minor Tweaks' menjadi 'Otak Atik Kecil, dll. Saya sampai ketawa geli sendiri melihat bahasa Inggris (yang memang tidak ada pandanannya dalam bahasa Indonesia) 'dipaksakan' untuk diterjemahkan sehingga menjadi lucu.
Melihat interface-nya, Google Chrome terkesan sangat Minimalis (seperti situs google yang minimalis), tidak banyak tombol ataupun menu toolbar layaknya browser lain (Mungkin merepotkan bagi newbie, tapi lama kelamaan akan terbiasa.) Hmm.. mungkin memang itu filosofi Google: Simple and Fast! Tersedia juga fitur most visited tab yang menyerupai speed-dial Opera. Menurut saya keseluruhan tampilan browser ini lebih mirip opera.
Ok saya coba browsing memakai browser baru ini, saya rasa, kelebihan browser ini yang paling terasa adalah kecepatannya, me-load web dengan banyak javascript dan format ajax (seperti YahooMail) bisa dilakukan dengan lancar. Kekurangan browser ini terletak pada tidak tersedianya skin/theme tambahan dan fitur pengelolaan tabs dan history yang menurut saya masih kalah jauh dibanding Firefox dan Opera (Saya agak kesulitan mencari history web yang pernah saya buka).
Ketika saya buka Task Manager, ternyata Google Chrome hanya memakai sedikit resource memori, tercatat browser ini hanya memakai 42Mb dengan 8 tabs terbuka, tidak seperti firefox atau opera yang boros resource.
Well, kesimpulannya mungkin sekarang saya akan memakai Opera dan Google Chrome sebagai browser default saya (kecuali jika pengelolaan history-nya lebih baik, maka saya akan tinggalkan Opera :p ), and... say goodbye to firefox.
Posted in
Internet,
Komputer,
Review
|