Sangat jarang kita temui film bertemakan politik yang sangat bagus dan inspiratif, kalaupun ada biasanya terkesan 'berat' dan serius. Film Invictus merupakan film dengan tema politik terbaik yang pernah saya tonton, ditunjang dengan aktor-aktor yang sangat pas untuk memerankannya.
Mungkin kita semua sudah pernah mendengar Nelson Mandela, presiden Afrika Selatan pada tahun 1994-1999, namun tidak banyak yang kita ketahui darinya, apalagi mengenai jasa-jasanya. Saya sendiri tidak mengetahui banyak tentang mendiang Nelson Mandela, yang saya ketahui adalah dia merupakan salah figur yang paling terkenal di Afrika (terkenal karena apa, saya sendiri kurang tahu :P), mungkin seperti Mahatma Ghandi dari India.
Kebetulan beberapa hari yang lalu saya menonton film 'Invictus' (Invictus merupakan judul puisi yang berarti 'Human Factor') yang digarap oleh sutradara yang sukses dengan film 'Million Dollar Baby' dan 'Mystic River', Clint Easwood dan dibintangi aktor Bourne Trilogi Matt Damon dan aktor senior Morgan Freeman. Saya memang penggemar film-filmnya Client Easwood walaupun saya kurang begitu suka film dengan bau politik.
Well, who knows political movie can be Inspiring too..?
Film Invictus bercerita mengenai sosok presiden kulit hitam Afrika Selatan Nelson Mandela setelah dia dibebaskan dari penjara selama 30 tahun (30 years? wow!). Setelah tiga puluh tahun dipenjara ternyata Nelson Mandela tidak menyimpan dendam kepada siapapun yang memenjara dia. Bahkan ketika dia diangkat menjadi presiden beliau memaafkan semua yang menjadi musuhnya dahulu.
Adengan pembuka film ini menampilkan antusiasme masyarakat kulit hitam di Afrika Selatan kepada presiden baru mereka sekaligus pesimisme dari kaum kulit putih yang menganggap pengangkatan Nelson Mandela akan menjadi ancaman serius karena akan diprediksi lebih mengutamakan kaum kulit hitam, bahkan seseorang berkata: "It's that terrorist, Mandela, Remember this day, boys, This is the day our country went to the dogs".
Pembebebasan Mandela mengawali berakhirnya Rezim apartheid yang mendiskriminasikan warga kulit hitam di Afrika selatan tahun 1990an. Ternyata prediksi kaum kulit putih bahwa Mandela akan lebih mengutamakan kaum kulit hitam terbukti salah, dengan pemerintahan yang baru ini Mandela justru berusaha menyatukan kaum kulit hitam dan putih.
Namun cara yang dipakai Mandela untuk menyatukan kedua ras tersebut sangat unik, yaitu melalui olahraga. Ya! olahraga, terpatnya tim rugby Afsel. Pada masa itu rugby merupakan olahraga kaum kulit putih di Afsel. Ada hal yang menarik, ketika pertandingan tim rugby Springboks Afsel melawan tim All England Inggris, para kaum kulit putih mendukung tim Springboks, sedangkan kaum kulit hitam mendukung All England, alih-alih mendukung negaranya sendiri.
Tim Rugby Springboks yang dipimpin Francois Pienaar (Matt Damon) merupakan tim yang sedang mengalami kemunduran yang mengakibatkan selalu kalah dalam pertandingan. Sehingga menimbulkan banyak pesimisme di kalangan masyarakat kalau tim Springboks tidak akan mempunyai kesempatan untuk memenangkan piala dunia rugby.
Ternyata hal ini menjadi perhatian Nelson Mandela, secara cerdas dia melihat potensi dalam olahraga ini, yaitu potensi untuk menyatukan kedua ras yang sedang bermusuhan, sekaligus untuk meningkatkan kebanggan nasional.
Foto asli Nelson Mandela, terlihat sedang menggunakan batik
Melihat peluang yang ada, Mandela secara pribadi memanggil Francois Pienaar untuk memberikan puisi (:P) motivasi kepada timnya untuk memenangkan piala dunia Rugby. Ternyata pertemuan tersebut menjadi beban tersendiri bagi Francois Pienaar untuk memenangkan piala dunia rugby, yang bisa menjadi kebanggan nasional.
Secara cerdas dan tidak terlalu teburu-buru film ini menggambarkan sosok Nelson Mandela yang bijak memotivasi timnya, juga teladan yang ditunjukan oleh Mandela. Ada hal menarik yang dikatakan oleh Francois Pienaar mengenai Mandela yang membuat saya kagum: "I was thinking about how you (Mandela) spend 30 years in a tiny cell, and come out ready to forgive the people who put you there...". Wow! Very Inspiring...
Berkat dukungan penuh dari Mandela dan kerja keras tim Springboks, tim rugby Afsel yang semula tidak mendapat dukungan kaum kulit hitam kini mendapatkan dungan warga kulit hitam berkat prestasi yang ditunjukan tim Springboks. Hal ini pula yang membuat masyarakat Afsel bersorak gembira mendukung timnya. Alhasil, secara tidak terduga (kalau saya sih sudah menduga :D) ternyata tim Rugby nasional Afsel Springboks memenangkan piala dunia 1995.
Saya kagum dengan Matt Damon di film ini yang secara fasih dapat berbicara logat inggris Afsel, dan juga akting Morgan Freeman yang (seperti biasa) selalu tampil maksimal. Scoring film ini sangat terasa Afsel yang penuh dengan musik khas Afsel di sepanjang film. Alur film ini juga sangat pas, tidak terlalu cepat dan juga tidak terasa lambat. Menonton film ini rasanya seperti menyaksikan biografi Nelson Mandela yang tidak banyak diketahui orang. Thanks for this movie, saja jadi tahu sosok Mandela sebenarnya.. :). Ketika di SD dahulu banyak saya (dan teman saya) yang menyangka Mandela adalah orang Indonesia, karena dia selalu terlihat memakai batik, haha.. Dan ternyata menurut Wikipedia Mandela selalu memakai batik, bahkan sampai dijuluki "Madiba shirts" (batik Mandela). Dan di sepanjang film Invictus Mandela sering sekali memakai batik.
Wah ternyata batik buatan Indonesia dipakai oleh salah satu presiden paling terkenal di dunia..!! :D
Sempat terpikir di benak saya: Kapan ya Indonesia memiliki sosok pemimpin seperti Mandela...?
Saya awalnya bingung bagaimana olahraga bisa menjadi alat politik untuk menyelesaikan masalah besar di Afsel, dan ternyata film ini bisa menggambarkan situasi yang terjadi saat itu secara smart & brilliant..!
Sejujurnya, saya bukanlah penggemar film musikal semacam High School Musical, atau Chicago atau Nine yang sempat booming. Apalagi jika film musikal dimasukkan kedalam format TV Series..? Wah kebayang pasti bakalan boring banget nontonnya.. :P
Tetapi itu sebelum saya nonton serial 'Glee'...
Mungkin kamu pernah dengar serial yg sedang ramai dibicarakan satu ini, apalagi kalau kamu berlangganan TV kabel semacam indovision pasti tau banget (gimana tidak,iklannya diputar di Star World & Fox hampir setiap satu jam! :P).
Saya pertama kali mengetahui Glee dari iklan di Star World, awalnya ga begitu tertarik dengan serial ini, karena selain musikal, saya juga belum pernah dengar sebelumnya. Namun karena bosan dengan iklan Glee yang diputar terus di TV, akhirnya maksa nonton 1 episode dulu (download dari internet :P)... And surprisingly I like it..!!
Glee bercerita tentang klub musik bernama 'Glee' (semacam ekskul di Indonesia) di McKinley High School Ohio, US. Awalnya kesan yang pertama muncul dari para personil Glee Klub adalah kumpulan siswa-siswa underdog yang ingin eksis di sekolah tersebut, awalnya saya mengira serial ini akan menjadi seperti serial Ugly Betty, tetapi ternyata Glee menawarkan lebih, karena selanjutnya banyak juga mahasiswa yang sangat populer join klub itu (entah kebetulan atau by accident :P). Yang cukup unik dari klub ini adalah, selain anggotanya terkesan underdog, karakter masing-masing anggota sangat berbeda, sepertinya memang hal ini yang ditawarkan dari Glee, sesuai dari tagline-nya di iklan: "Glee is about being yourself...". Quite inspirating, right?
Hal lain yang menjadi daya tarik (aka komersil) dari serial ini (dan mungkin ini adalah unsur yg terpenting) adalah musik-musik yang dibawakan oleh personil Glee, ya harus saya akui musik-musik dalam serial Glee sangat berkualitas, seakan setelah nonton serial ini, 'High School Musical' terkesan seperti serial anak-anak murahan, alias tidak apa-apanya! (no offense please ;)). Serial garapan Ian Brenna, Brad Falchuk, dan Ryan Murphy sepertinya digarap dengan serius, walaupun ber-genre komedi musikal (tipical popcorn movie :D) tetapi alur dan penokohannya terlihat rapi dan terencanakan, begitu juga dengan pesan moral yang terdapat didalamnya. Sejauh ini sudah 13 episode yang ditayangkan, dan menurut saya kualitasnya sangat stabil, tergarap rapi, tidak ada cerita yang 'tanggung' atau 'absurd' sejauh penilaian saya. Salut dengan serial ini yang berhasil menyeimbangkan komposisi ceerita dan musiknya, alias tidak 'berat sebelah' (yang biasa menjadi kekurangan film musikal). Dalam setiap episode ada sekitar 6-10 lagu di serial ini, kebanyakan adalah lagu populer dengan sedikit (atau banyak) remix dengan unsur alcapella khas Glee. Dan yang hebat adalah, semua personil benar-benar menyanyi. Ya! Tidak seperti Zach Effron yang 'pura-pura' menyanyi di High School Musical, semua aktor di Glee benar-benar bisa menyanyi. Terbayangkan bertapa sulitnya proses audisi menemukan aktor-aktor seperti mereka. Adegan musikalnya pun terlihat natural (walau kadang terlihat dipaksakan, but its ok), jangan dibandingkan dengan film India yang selalu nari-nari ga jelas setiap nyanyi :D.
Sebagai tolak ukur kualitas serial ini, sudah banyak penghargaan yang diraih oleh film ini, termasuk diantaranya: Golden Globe Award for Best Television Series – Musical or Comedy, dan juga dinominasikan pada kategori Best Actor – Television Series Musical or Comedy (Matthew Morrison), Best Actress – Television Series Musical or Comedy (Lea Michele) dan Best Supporting Actress – Series, Miniseries or Television Film (Jane Lynch).
Beberapa Tokoh utama di Glee:
Will Schuester (Matthew Morrison)
Aslinya Will adalah guru bahasa Spanyol di sekolah McKinley High, namun dia juga menjadi pembimbing klub Glee, dimana yang menjadi obsesinya, bahkan demi mempertahankan klub ini, dia rela meninggalkan tawaran kerja dengan gaji lebih besar. IMHO, jika dibandingkan dengan penyanyi pria lain di serial ini, Will merupakan penyayi pria dengan suara terbaik menurut saya (ini pendapat pribadi loh). Saya suka ketika dia menyanyikan lagu rap 'Gold Digger' Karya Kanye West... Damn, he can rap..! Cool, huh?
Sue Sylvester (Jane Lynch)
Peran Sue Sylvester di serial ini adalah sebagai pelatih cheerleade, menurut saya pribadi pemilihan aktris Jane Lynch sangat brilian, karena dia terbukti sukses berperan sebagai antagonis dan guru yang paling 'sadis' di serial ini :D. Dia juga punya peran penting dalam serial ini, serial Glee tanpa Sue Sylvester rasanya seperti Star Wars tanpa Darth Vader... Seberapa sadiskah Sue Sylvester..? Lihat saja kata-kata yang paling memorable dari Mrs Sue: 5. “Sue Sylvester’s rainbow tent will gladly protect you from his storm of racism.” 4. “Oh, hey, buddy. I thought I smelled failure.” 3. “Your delusions of persecution are a telltale sign of early stage paranoid schizophrenia.” 2. “I’m going to destroy your club with a conviction I call religious.” 1. “I don’t trust a man with curly hair.” See..? :D
Rachel Berry (Lea Michele)
Rachel Berry merupakan personil Glee yang paling menonjol, hampir di setiap episode dia selalu mendapat peran penting dan pastinya menjadi leading vocal wanita, karena dia personil wanita dengan suara terbaik di Glee. Melihat penampilan peran Rachel mengingatkan pada Ugly Betty, entah by accident atau sengaja, keduanya sangat mirip. Kata-kata yang paling memorable dari Rachel: - "Look, I know I'm just a sophomore, but I can feel the clock ticking away and I don't want to leave high school with nothing to show for it." - "Being great at something is going to change it. Being part of something special makes you special, right? "
Finn Hudson (Cory Monteith)
Sejujurnya, saya tidak begitu menyukai Finn Hudson, karena aktor Cory Monteith aktingnya terlihat kaku. Well, at least he can sing. Kalau Rachel merupakan wanita yang paling menonjol, maka Finn merupakan pria terpopuler di Glee, karena selain sebelumnya me jadi kaptem football di McKinley High, dia juga (accidentally) menjadi leading vocal di Glee. Yang paling menyebalkan buat saya aktor pemeran Finn, Cory Monteith akhir-akhir ini mengencani Taylor Swift setelah Taylor Swift putus dengan Taylor Leuther (lho kok jadi ngegosip sih..? Back to topic! :D)
Mercedes Jones (Amber Riley) Dia merupakan wanita dengan suara terkuat di klub Glee, semacam Beyonce-nya Glee mungkin. Mercedes tidak begitu banyak menonjol di klub ini, selain warna kulitnya yang kontras, karena satu-satunya wanita kulit hitam di Glee.
Kurt Hummel (Chris Colfer) Dia adalah satu-satunya personil Glee yang Gay (aka banci :P). Well, dari sudut pandang saya sebagai pria normal, dia merupakan karakter yang paling annoying (ini pendapat pribadi loh, no offense girls! :D). Selain gay dia juga memiliki bakat unik, yaitu menyanyi dengan suara menyerupai wanita. Adegan yang paling menonjolkan sosok Kurt Hummel adalah ketika dia menari layaknya Beyonce di lagu Single Ladies, damn what a sissy boy. Kayanya kalau saya bertemu dengan pria seperti Kurt Hummel di jalan pasti saya sudah manjauh :D.
Artie Abrams (Kevin McHale) Artie adalah satu-satunya anggota Glee yang cacat, dia harus menggunakan kursi roda karena mepunyai cacat pada kaki. Dia sempat menonojol di episode 'Wheel' yang berfokus kepada masalah siswa cacat di McKinley High seperti Artie. Walaupun cacat ternyata tidak mengurangi tekad dia untuk selalu tampil di klub Glee.
Personally, this is how a musical series should made..! Sebagai TV series yang terbilang baru, Glee cukup menyedot perhatian banyak orang dan kritikus (dan blogger :D) dikarenakan sukses secara komersil yang diluar dugaan. Bahkan bisa membuat orang yang tidak suka film musikal seperti saya menjadi penggemar Glee :D.
Akhir-akhir ini jarang sekali ada TV series bertemakan perang (bahkan mungkin tidak ada, CMIIW) semacam Band of Brothers di tahun 2001. Bagi kamu yang rindu dengan TV seri sejenis Band of Brothers tidak boleh melewatkan miniseri terbaru HBO, yaitu 'The Pacific', yang digarap oleh duo Band of Brothers Tom Hanks dan Steven Spielberg.
Menyusul kesuksesan Band of Brothers di tahun 2001, kali ini Tom Hanks dan Steven Spielberg menjadi produser film yang disebut-sebut sebagai miniseri termahal yang pernah ada. Episode perdana The Pacific ditayangkan di HBO 14 Maret 2010, di Indonesia sendiri ditayangkan perdana pada 3 April oleh HBO di indovision. Bahkan Barrack Obama pun nonton langsung private screening miniseri ini di family theater of white house, ditemani 2 executive producer, steven Spielberg dan Tom Hanks di barisan depan.
Trailer 'The Pacific'
Film dengan biaya produksi sebesar USD$200 juta ini dibuat berdasarkan cerita kisah nyata dari armada laut (marinir) di medan perang Pasifik pada era Perang Dunia II, yang aslinya berasal dari dokumentasi riwayat hidup 'With the Old Breed: At Peleliu' dan 'Okinawa' oleh Eugene Sledge dan 'Helmet for My Pillow' oleh Robert Leckie.
Adegan awal 'The Pacific' mirip dengan 'Saving Private Ryan'
Film ini diperankan oleh James Badge Dale, Joe Mazzello dan Jon Seda, masing-masing berakting sebagai-Robert Leckie, Eugene Sledge, serta John Basilone, tiga marinir AS di medan pertempuran Pasifik selama Perang Dunia II. Bersama rekan-rekan marinir lainnya, mereka menjalanii pertempuran pertama dengan tentara Jepang di kawasan hutan Guadalcanal yang mengerikan, melewati hutan hujan yang tak tertembus Cape Gloucester, menyeberangi benteng karang terkutuk Peleliu, sampai teras pasir berdarah Iwo Jima, melalui ladang-ladang pembantaian Okinawa, hingga mencapai kemenangan, untuk kembali setelah Hari Kemenangan Atas Jepang.
Proses pembuatan 'The Pacific'
Miniseri yang rencananya dibagi menjadi 10 episode itu menampilkan setting yang semirip aslinya. Oleh karena itu, mereka perlu membangun lebih dari 90 set di lokasi syuting di Australia. Sedangkan setting alat tempur dan medan peperangannya menggunakan template setting film 'Saving Private Ryan' yang digarap oleh Steven Spielberg.
Trailer 'The Pacific' #2
Bahkan untuk membangun setting Iwo Jima di Hillview Quarry, tim produksi harus menggali 62 ribu ton tanah. Tidak hanya itu, sebuah perusahaan lokal pun disewa untuk menambang dan menghaluskan 4 ribu ton Scoria, batu apung berwarna hitam. Mereka memilih menggunakan scoria karena pasir di Iwo Jiwa berwarna hitam, sementara tanah Hillview Quarry cenderung cokelat.
Screenshot 'The Pacific'
Kostum yang digunakan oleh aktor dan aktris 'The Pacific' juga tidak kalah detilnya. Untuk membuat tiga ribu kostum angkatan laut Amerika Serikat, mereka memerlukan 20 ribu meter persegi kain kepar yang ditenun dengan mesin tenun kuno di India.
Saat tulisan ini ditulis, hanya baru 3 episode yang ditayangkan, so, masih terlalu dini untuk menilai Miniseri yang satu ini. Walaupun begitu tetap saja saya greget untuk menulis review-nya. :D
Pengambilan gambar di adegan perahu marinir
Dua Episode pertama miniseri ini menceritakan tentang para prajurit AS dalam PD II di daerah Samudera Pasifik. Perang Pacific itu sendiri dimulai dengan penyerbuan Tentara AL Jepang ke Markas Besar AL di Pearl Harbour pada tanggal 8 desember 1941. Penyerangan itu pula menandai dimulainya keterlibatan AS dalam perang dunia kedua. Setelah kekalahan AL Jepang dalam perebutan Midway, AS mulai merancang perebutan kembali wilayah-wilayahnya di Pasifik yang sebelumnya diambil alih oleh Jepang.
Upaya AS dalam merebut kembali wilayahnya di Samudera Pasifik dengan menggunakan taktik “Lompat Kodok”, dalam artian, merebut kepulauan di wilayah tersebut satu persatu dari Jepang. Peperangan yang terjadi sangat dahsyat, dan meminta korban yang banyak dari kedua belah pihak. Pertempuran di Pasifik itu sendiri saat ini lebih dikenal dengan sebutan Pacific Theatre, sebagaimana disebutkan juga dalam film ini: "Pacific will be our next theatre of war...".
Duo Band of Brothers: Hanks & Spielberg sebagai produser
Well, bagi penggemar Band of Brothers dan suka film perang, 'The Pacific' merupakan kategori film 'must-watch' buat kamu, apalagi mengingat minimnya TV series dengan tema perang akhir-akhir ini, tema yang cukup berbeda dengan kebanyakan TV series yang sedang populer saat ini, LOST, Heroes, Grey's Anatomy, 24, atau yang terbaru Glee. D
Dengan Steven Spielberg dan Tom Hanks sebagai produser sepertinya tidak perlu diragukan lagi kualitas filmnya. Apakan 'The Pacific' akan sebagus Band of Brothers..? We'll see... ;)
Di Kota Shibuya, Jepang, tepatnya di alun-alun sebelah timur Stasiun Kereta Api Shibuya, terdapat patung yang sangat termasyur. Bukan patung pahlawan ataupun patung selamat datang, melainkan patung seekor doggy. Dibuat oleh Ando Takeshi pada tahun 1935 untuk mengenang kesetiaan seekor doggy kepada tuannya.
Seorang Profesor setengah tua tinggal sendirian di Kota Shibuya. Namanya Profesor Hidesamuro Ueno. Dia hanya ditemani seekor doggy kesayangannya, Hachiko. Begitu akrab hubungan doggy dan tuannya itu sehingga kemanapun pergi Hachiko selalu mengantar. Profesor itu setiap hari berangkat mengajar di universitas selalu menggunakan kereta api. Hachiko pun setiap hari setia menemani Profesor sampai stasiun.
Patung Hachiko di Shibuya
Di stasiun Shibuya ini Hachiko dengan setia menunggui tuannya pulang tanpa beranjak pergi sebelum sang profesor kembali.. Dan ketika Profesor Ueno kembali dari mengajar dengan kereta api, dia selalu mendapati Hachiko sudah menunggu dengan setia di stasiun. Begitu setiap hari yang dilakukan Hachiko tanpa pernah bosan.
Musim dingin di Jepang tahun ini begitu parah. Semua tertutup salju. Udara yang dingin menusuk sampai ke tulang sumsum membuat warga kebanyakan enggan ke luar rumah dan lebih memilih tinggal dekat perapian yang hangat.
Pagi itu, seperti biasa sang Profesor berangkat mengajar ke kampus. Dia seorang profesor yang sangat setia pada profesinya. Udara yang sangat dingin tidak membuatnya malas untuk menempuh jarak yang jauh menuju kampus tempat ia mengajar. Usia yang semakin senja dan tubuh yang semakin rapuh juga tidak membuat dia beralasan untuk tetap tinggal di rumah. Begitu juga Hachiko, tumpukan salju yang tebal dimana-mana tidak menyurutkan kesetiaan menemani tuannya berangkat kerja. Dengan jaket tebal dan payung yang terbuka, Profesor Ueno berangkat ke stasun Shibuya bersama Hachiko.
Tempat mengajar Profesor Ueno sebenarnya tidak terlalu jauh dari tempat tinggalnya. Tapi memang sudah menjadi kesukaan dan kebiasaan Profesor untuk naik kereta setiap berangkat maupun pulang dari universitas.
Kereta api datang tepat waktu. Bunyi gemuruh disertai terompet panjang seakan sedikit menghangatkan stasiun yang penuh dengan orang-orang yang sudah menunggu itu. Seorang awak kereta yang sudah hafal dengan Profesor Ueno segera berteriak akrab ketika kereta berhenti. Ya, hampir semua pegawai stasiun maupun pegawai kereta kenal dengan Profesor Ueno dan doggynya yang setia itu, Hachiko. Karena memang sudah bertahun-tahun dia menjadi pelanggan setia kendaraan berbahan bakar batu bara itu.
Setelah mengelus dengan kasih sayang kepada doggynya layaknya dua orang sahabat karib, Profesor naik ke gerbong yang biasa ia tumpangi. Hachiko memandangi dari tepian balkon ke arah menghilangnya profesor dalam kereta, seakan dia ingin mengucapkan," saya akan menunggu tuan kembali."
"doggy manis, jangan pergi ke mana-mana ya, jangan pernah pergi sebelum tuan kamu ini pulang!" teriak pegawai kereta setengah berkelakar.
Seakan mengerti ucapan itu, Hachiko menyambut dengan suara agak keras,"guukh!"
Tidak berapa lama petugas balkon meniup peluit panjang, pertanda kereta segera berangkat. Hachiko pun tahu arti tiupan peluit panjang itu. Makanya dia seakan-akan bersiap melepas kepergian profesor tuannya dengan gonggongan ringan. Dan didahului semburan asap yang tebal, kereta pun berangkat. Getaran yang agak keras membuat salju-salju yang menempel di dedaunan sekitar stasiun sedikit berjatuhan.
Di kampus, Profesor Ueno selain jadwal mengajar, dia juga ada tugas menyelesaikan penelitian di laboratorium. Karena itu begitu selesai mengajar di kelas, dia segera siap-siap memasuki lab untuk penelitianya. Udara yang sangat dingin di luar menerpa Profesor yang kebetulah lewat koridor kampus.
Tiba-tiba ia merasakan sesak sekali di dadanya. Seorang staf pengajar yang lain yang melihat Profesor Ueno limbung segera memapahnya ke klinik kampus. Berawal dari hal yang sederhana itu, tiba-tiba kampus jadi heboh karena Profesor Ueno pingsan. Dokter yang memeriksanya menyatakan Profesor Ueno menderita penyakit jantung, dan siang itu kambuh. Mereka berusaha menolong dan menyadarkan kembali Profesor. Namun tampaknya usaha mereka sia-sia. Profesor Ueno meninggal dunia.
Segera kerabat Profesor dihubungi. Mereka datang ke kampus dan memutuskan membawa jenazah profesor ke kampung halaman mereka, bukan kembali ke rumah Profesor di Shibuya.
Menjelang malam udara semakin dingin di stasiun Shibuya. Tapi Hachiko tetap bergeming dengan menahan udara dingin dengan perasaan gelisah. Seharusnya Profesor Ueno sudah kembali, pikirnya. Sambil mondar-mandir di sekitar balkon Hachiko mencoba mengusir kegelisahannya. Beberapa orang yang ada di stasiun merasa iba dengan kesetiaan doggy itu. Ada yang mendekat dan mencoba menghiburnya, namun tetap saja tidak bisa menghilangkan kegelisahannya.
Hachiko di sebuah musium di Jepang
Malam pun datang. Stasiun semakin sepi. Hachiko masih menunggu di situ. Untuk menghangatkan badannya dia meringkuk di pojokan salah satu ruang tunggu. Sambil sesekali melompat menuju balkon setiap kali ada kereta datang, mengharap tuannya ada di antara para penumpang yang datang. Tapi selalu saja ia harus kecewa, karena Profesor Ueno tidak pernah datang. Bahkan hingga esoknya, dua hari kemudian, dan berhari-hari berikutnya dia tidak pernah datang. Namun Hachiko tetap menunggu dan menunggu di stasiun itu, mengharap tuannya kembali. Tubuhnya pun mulai menjadi kurus.
Para pegawai stasiun yang kasihan melihat Hachiko dan penasaran kenapa Profesor Ueno tidak pernah kembali mencoba mencari tahu apa yang terjadi. Akhirnya didapat kabar bahwa Profesor Ueno telah meninggal dunia, bahkan telah dimakamkan oleh kerabatnya.
Mereka pun berusaha memberi tahu Hachiko bahwa tuannya tak akan pernah kembali lagi dan membujuk agar dia tidak perlu menunggu terus. Tetapi doggy itu seakan tidak percaya, atau tidak peduli. Dia tetap menunggu dan menunggu tuannya di stasiun itu, seakan dia yakin bahwa tuannya pasti akan kembali. Semakin hari tubuhnya semakin kurus kering karena jarang makan.
Foto Hachiko yang asli
Akhirnya tersebarlah berita tentang seekor doggy yang setia terus menunggu tuannya walaupun tuannya sudah meninggal. Warga pun banyak yang datang ingin melihatnya. Banyak yang terharu. Bahkan sebagian sempat menitikkan air matanya ketika melihat dengan mata kepala sendiri seekor doggy yang sedang meringkuk di dekat pintu masuk menunggu tuannya yang sebenarnya tidak pernah akan kembali. Mereka yang simpati itu ada yang memberi makanan, susu, bahkan selimut agar tidak kedinginan.
Selama 9 tahun lebih, dia muncul di station setiap harinya pada pukul 3 sore, saat dimana dia biasa menunggu kepulangan tuannya. Namun hari-hari itu adalah saat dirinya tersiksa karena tuannya tidak kunjung tiba. Dan di suatu pagi, seorang petugas kebersihan stasiun tergopoh-gopoh melapor kepada pegawai keamanan. Sejenak kemudian suasana menjadi ramai. Pegawai itu menemukan tubuh seekor doggy yang sudah kaku meringkuk di pojokan ruang tunggu. doggy itu sudah menjadi mayat. Hachiko sudah mati. Kesetiaannya kepada sang tuannya pun terbawa sampai mati.
Warga yang mendengar kematian Hachiko segera berduyun-duyun ke stasiun Shibuya. Mereka umumnya sudah tahu cerita tentang kesetiaan doggy itu. Mereka ingin menghormati untuk yang terakhir kalinya. Menghormati sebuah arti kesetiaan yang kadang justru langka terjadi pada manusia.
Patung Hachiko sekarang
Mereka begitu terkesan dan terharu. Untuk mengenang kesetiaan doggy itu mereka kemudian membuat sebuah patung di dekat stasiun Shibuya. Sampai sekarang taman di sekitar patung itu sering dijadikan tempat untuk membuat janji bertemu. Karena masyarakat di sana berharap ada kesetiaan seperti yang sudah dicontohkan oleh Hachiko saat mereka harus menunggu maupun janji untuk datang. Akhirnya patung Hachiko pun dijadikan symbol kesetiaan. Kesetiaan yang tulus, yang terbawa sampai mati.
Baru saja nonton 'Clash of the Titans', dan ternyata filmnya sangat membosankan dan mengecewakan. . :(
Dilihat dari trailernya memang film ini kelihatannya cukup bagus, apalagi ditunjang Special Effect khas Hollywood dan aktor Sam Worrington (dalam trailerya juga disebutkan "from the Avatar's Sam Worrington.. .).. Dan ternyata setelah aku tonton di bioskop film jauh dari apa yg digembar-gemborkan. . Dilihat dari antusiasme masyarakat untuk nonton film ini (terbukti dari seat bioskop yg hampir full, bahkan pada tengah malam), film ini boleh dibilang overrated, hanya mengandalkan special effect yg canggih saja..
Film yg bercerita tentang pertengkaran dewa2 mitologi Yunani kuno seperti Zeus, Hades, dll terkesan menjadi The Lord of the Ring wannabe, karena sinematografinya, scoring, efek, dan bahkan cara narasinya sangat mengingatkan dengan The Lord of the Ring, cerita perjalanan menuju dunia 'underworld' juga mngingatkan adegan Frodo & Sam di The lord of the Ring.. dan tidak sampai di situ, keberadaan mahluk monster Kraken menyerupai kraken di film Pirates of Carribean.. Kalau dilihat dari sekilas film ini seperti gabungan TLOTR, Pirates of Carribean, dan Troy.. Overall, nyaris tidak ada yg original dari film ini..!!
IMHO, this movie feels soo 2003..! lol...
Seandainya saja film ini dibuat 7 tahun yg lalu dimana The Lord of The Ring belum dibuat mungkin saya akan menyukai film ini, namun setelah adanya TLOTR, Pirates, Troy, Avatar, Transformer, dll... Nyaris tidak ada yg unik yg ditawarkan dari film ini, semuanya terkesan 'Deja Vu' dan membosankan. .. Sama sekali tidak layak ditonton..