Seperti kebanyakan orang, sebelum menonton film biasanya saya mencari tahu dulu film yang akan saya tonton, seperti: trailer, aktor, sutradara, dll (biasanya dari imdb). Dan memang strategi marketing Hollywood untuk ‘memborbardir’ public dengan trailer dan promosi besar-besaran sebelum filmnya rilis.
So, ketika melihat trailer film Skyline saya sedikit kaget, ko bisa saya belum pernah dengar berita apa-apa tentang film ini, tiba-tiba muncul, yang lebih mengagetkan, sehari setelah trailernya dirilis, filmnya sudah main di bioskop. Dilihat dari trailernya sepertinya cukup menjanjikan, namun kenapa minim iklan? Setelah googling sedikit, ternyata ini adalah film indie (seriously? I’m surprised!) garapan Strause Brothers (Colin Strause & Greg Strause). Strause Brothers sangat terkenal di Hollywood sebagai ‘Special Effect Master’ (http://uk.imdb.com/name/nm0833779) yang berpengalaman menggarap film besar dari mulai Titanic, Iron Man, 2012, Avatar, semua digarap oleh mereka, dan Skyline merupakan film pertama yang mereka sutradarai. Sedikit menarik melihat mereka terjun ke dunia directing (CMIIW). Film indie digarap oleh master special effect? Sepertinya tidak terlalu pesimis kalau memprediksi film ini akan sangat menonjolkan visual effect.
And as usual, I was right :P
Menceritakan Jarrod dan Elaine yang sedang berlibur di apartemen di Los Angeles, tiba-tiba cahaya biru berjatuhan dari langit dan mengambil orang-orang di kota tersebut, mereka terjebak di sebuah apartemen, sempat berusaha keluar namun berakibat terbunuhnya sahabat mereka, sedangkan di apartemennya sendiri alien sedang berusaha mencari mereka dengan tentakel-tentakelnya yang bercahaya. Para pesawat tempur dikerahkan untuk melawan alien tersebut, sayangnya mereka tidak berhasil. Terdengar familiar?
Opening act sekelompok anak muda yang berpesta lalu diserang alien? cerita yang sama dengan film Cloverfield-nya JJ Abrams. Alien dengan tentakel bercahaya berusaha mencari manusia di dalam apartemen? Alien yang nyaris sama persis dengan ‘War of the World’-nya Stephen Spielberg. Pesawat tempur yang menembaki pesawat induk alien? juga mengingatkan dengan ‘Independence Day’-nya Roland Emmerich. Bisa dibilang film ini sangat tidak original (kalau tidak mau disebut plagiat).
Para aktor di film ini biasa saja, maklum karena ini film indie, mereka tidak punya budget banyak untuk membayar aktor besar. Alhasil adegan emosional dan usaha menyelamatkan diri jadi terlihat kurang hidup.
Well, setidaknya aliennya hidup :P.
Seandainya film ini digarap oleh Stephen Spielberg atau JJ Abrams mutlak akan saya katakan film ini mengecewakan. Dan dengan berat hati saya harus puas dengan film ini. Why? Karena ini merupakan film indie, sebagai info budget film ini hanya $10 juta, so, mereka tidak sanggup membayar penulis naskah yang handal, aktor terkanal, atau scoring yang bagus. Tidak adil rasanya membandingkan film ini dengan War of the Worlds yang berbudget $135 juta (10X lipat lebih) atau Independence Day $75 juta. Sejujurnya saya kagum bagaimana $10 juta bisa dimaksimalkan untuk menggarap special effect sebaik itu, bahkan lebih baik daripada special effect Independence Day.
Verdict: cerita yang tidak original (naskah yang meniru sana sini), aktor standar, durasi yang singkat, inti cerita film ini hanya 50 menit, 20 menit pertama sumpah membosankan, sedangkan 15 menit terakhir tidak penting ...ya!, I saya menghitungnya, lol. Ingin film invasi alien berkualitas? Pastinya bakalan kecewa, tapi ingin melihat film indie budget 'hanya' $10 juta dengan special effect mewah? Akan menarik ;)
Di tahun ini ada 2 film bertemakan dance, yaitu Street Dance 3D dan Step Up 3D, hal yang menarik adalah keduanya disajikan dalam format 3D, sepertinya ini menandakan kalau sekarang adalah era 3D movie. Mungkin ini tahun yang menyenangkan bagi penggemar pop dance atau hanya sekenar hip-hop lover, selain ada 2 film bertemakan dance, keduanya pun disajikan secara 3D.
Step Up 3D bercerita mengenai kehidupan penari jalanan di kota New York, masih setia dengan 2 film sebelumnya, film ini masih diperankan Adam G. Sevani sebagai Moose. Jika di 2 film sebelumnya menceritakan kehidupan penari jalanan, di film ini ceritanya berpusat pada karakter Moose yang kini masuk ke sebuah universitas di New York. Sepertinya mudah menebak jalan cerita film ini, di univeritas tersebut dia menemukan komunitas penari di New York, kelompok para penari yang bernama ‘Pirates’ ini merupakan kumpulan penari jalanan yang semua tinggal di rumah milik Luke (Rick Malambri). Anda tidak perlu menonton 2 film sebelumnya untuk mengerti cerita film ini, walaupun sekuel dari film Step Up 1 dan 2, jalan cerita film ini tidak terlalu berhubungan dengan film sebelumnya. Jalan ceritanya sendiri cenderung mudah ditebak dan ‘klise’.
But wait, this movie is not all about the story...
Yup, film ini lebih menonjolkan segi ‘entertain’ berupa dance dan musik-musik hip-hop bertempo cepat, hampir keseleruhan film ini berisi dance dan hip-hop. Format 3D di film ini punya kelebihan tersendiri, bisa dibilang format 3Dlah yang paling berjasa ‘menunjang’ di film ini, dengan judul ‘Step Up 3D’ bukan ‘Step Up 3’, sepertinya menegaskan kalau ini adalah upgrade dari film bergenre sejenis sebelumnya. Jika film ini ditampilkan 2D mungkin ‘feel’nya akan berbeda, so saya lebih menyarankan menonton 3Dnya.
Thanks to 3D that makes converntional 2D movies seems ‘Old School’ :P.
Saya harus akui efek 3D film ini sangat bagus, semua detil filmnya (bahkan ketika adegan non-dance) tampak dikonversi menjadi full 3D, bahkan dibandingkan film Street Dance 3D, film ini masih lebih bagus, efek popping-eye nya sangat terasa dan sangat entertain tentunya.
Musik-musik pengirin dance di film ini juga sangat catchy, IMHO music di film Step Up 3D masih lebih bagus daripada di Street Dance 3D, total 34 soundtrack yang mengiringi film ini tidak mengecewakan, terutama main soundtrack film ini 'Club Can't Handle Me' oleh Flo Rida yang sangat catchy untuk didengar :D
Jika anda mengharapkan jalan cerita pada film ini, mungkin anda akan kecewa karena ceritanya biasa dan mudah ditebak, namun jika anda merupakan penggemar dance, film ini akan sangat menghibur anda.
Menurut wikipedia istilah modernisasi yaitu "Perubahan keadaan dari peradaban 'pra-modern' atau 'tradisional' ke masyarakat 'masa kini' atau modern". Lalu demikian istilah 'Modernisasi Film' berarti perubahan kultur/materi sebuah film menjadi lebih 'masa kini' atau modern.
So, mengacu kepada pengertian diatas, apa sih kriteria 'Modernisasi Film'..? Perubahan setting ke zaman sekarang? Ya. Aktor-aktor yang lebih muda (dan menarik :P)? Sure. Joke-joke yang fresh dan segar? Okay. Gadget-gadget elektronik terkini? Oh yeah.
Well, sepertinya istilah 'Modernisasi Film' sangat cocok untuk mendeskripsikan TV Series terbaru keluaran BBC: 'Sherlock'. Ya, kamu tidak salah kalau menebak serial ini mengenai Sherlock Holmes, detektif (yang sayangnya fiktif) karya Arthur Conan Doyle dari Inggris.
Cerita Sherlock sebenarnya sama dengan bukunya, Sherlock Holmes, hanya dalam serial ini dibuat dengan setting masa kini, jangan bayangkan latar belakang London tahun 1891 dengan nuansa klasik yang kental dan orang-orang zaman dulu, dengan segala hal yang berbau kuno, kereta kuda, dll.., bukan, film ini sangat berbeda.
Serial TV berjudul Sherlock (tanpa Holmes :P) ber-setting di masa kini dengan tokoh utama Sherlock Holmes dan partner setianya, Dr Watson. Jangan samakan karakter Holmes dan Watson di film ini dengan yang diperankan Robert Downey, Jr. dan Jude Law di film Sherlock Holmes tahun 2009 lalu, apalagi dengan sosok Sherlock Holmes versi tahun 1891. Sherlock Holmes di serial ini diperankan oleh anak muda (berusia sekitar 20-25) dengan pembawaan yang lebih 'Cool', bukan 'Old School' seperti pada bukunya. Karena mengambil setting di tahun 2010 otomatis suasana filmnya pun lebih modern, kota London jauh lebih modern dibanding tahun 1800an, kereta kuda diganti dengan mobil, surat-menyurat diganti e-mail, dan semua peralatan yang belum ada di zaman dulu.
Di serial ini menceritakan Sherlock Holmes sebagai pemuda yang memiliki ketertarikan (lebih tepatnya 'tergila-gila') dengan menganalisa dan memecahkan kasus kriminal yang terjadi di kota London, namun tidak seperti kebanyakan detektif, dia melakukan dengan sukarela tanpa dibayar, 'just for fun', seperti kata Sherlock. Secara kebetulan yang menguntungkan, dia bertemu dengan Dr John Watson, jangan bayangkan sosoknya seperti dokter kebanyakan, sosok Watson versi film ini adalah dokter mantan tentara perang di Afghanistan.
Pertama kali melihat trailernya di youtube, saya sedikit pesimis dengan serial ini karena Modernisasi Sherlock Holmes terkesan dipaksakan, dan melihat aktor-aktornya seperti kurang cocok untuk memerankan versi mudanya Sherlock Holmes.
But don't judge a book by its cover, and don't judge a movie by its trailer... ;)
Well prediksi saya mennjadi keliru setelah menonton episode pertamanya, Fantastic!! Sebagai seorang penggemar buku Sherlock Holmes saya tentunya mempunyai ekspektasi besar ketika menontonnya, dan film ini sama sekali tidak mengecewakan, actually, its surprising!! :D
Aktor-aktornya justru terlihat pas di serial ini, tidak seperti Sherlock Holmes versi Robert Downey, Jr yang sedikit agak 'konyol' dan beraksen amerika (yang menurut saya janggal), Holmes yang diperankan Benedict Cumberbatch mampu menggambarkan sosok Sherlock Holmes yang muda, fresh, cool, dan pintar, sedangkan Dr Watson diperankan Martin Freeman yang smart namun sedikit lugu dan membuat karakternya tidak begitu kaku.
Cast yang lainnya pun tidak mengecewakan, dan semuanya berasal dari Inggris, so, aksen British sangat kental di film ini. Pemilihan cast yang briliant.
Ceritanya sendiri masih setia dengan bukunya, yaitu mengenai Holmes & Dr Watson yang memecahkan kasus-kasus kriminal di kota London. Namun perbedaan 'Sherlock Modern' dengan Sherlock versi bukunya, Sherlock di serial ini berkarakter anak muda, dalam memecahkan kasusnya kadang dia menggunakan HandPhone, Laptop, GPS, dll, tentunya gadget tersebut belum ada di tahun 1894 :P.
Yang membuat film ini lebih fresh tentunya adalah transformasi filmnya dari 'Old School' menjadi 'New School' yang tentunya lebih menarik untuk ditonton anak muda. Entah kenapa untuk saya pribadi karakter Sherlock di serial ini lebih baik daripada Sherlock versi Robert Downey, karena terlihat smart & kalem, lebih mendekati karakter di novelnya, walaupun untuk karakter Dr Watson saya lebih suka versi Jude Law karena lebih dewasa (ini pendapat pribadi loh).
Episode perdana (aka Pilot) serial ini berjudul ‘A Study in Pink’, bercerita mengenai bunuh diri berantai (ya, bunuh diri, bukan pembunuhan) yang terjadi di kota London, episode ini seperti episode perkenalan karakter Sherlock dan Darwin ketika mereka pertama kali bertemu. Sedangkan episode keduanya berjudul ‘The Blind Banker’ yaitu mengenai pembunuhan berantai yang dilakukan oleh jaringan mafia dari China. Menurut saya pribadi episode kedua lebih menegangkan daripada yang pertama, unsur thrilling-nya sangat terasa.
Score untuk serial ini juga lumayan bagus, sangat mirip dengan score versi Hans Zimmer (atau memang sengaja?), sayang score di serial ini bukan digarap oleh maestro Zimmer, but okay, its not bad.
Tahun 2010 sepertinya menjadi tahun yang menyenangkan bagi penggemar detektif Sherlock Holmes, setelah film Sherlock versi Guy Ritchie yang keluar Desember tahun lalu, muncul serial ini yang buat saya pribadi lebih bagus daripada versi Guy Ritchie. Sedikit saran, sebaiknya ketika menonton serial ini jangan ngantuk, karena hampir keseluruhan serial ini benar-benar membuat kita mikir, dan perhatikan juga detail peristiwa dan keadaannya, supaya anda tidak dibuat bingung.